BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya pengetahuan tentang teori korelasi(munasabah) ini brawal dari
kenyataan bahwa systematika al-qur’an sebagaimana terdapat dalam Musyaf Usmani
sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunnya. Itulah sebabnya terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama salaf tentang urutan surat didalam al-qur’an.
Pendapat pertama bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari nabi SAW. Golongan
keda berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah
mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi.
Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat
al-anfal dan bara’ah yang dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al Qodi Abu Bakar dalam satu
pendapatnya, Abu Bakar IbnAl-Anbari, Al-kirmani, dan Ibn al-Hisar. Pendapat
kedua didukung oleh Malik, Al-qodi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain dan
Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Baihaqi. Salah satu penyebab
perbedaan pendapat ini adalah adanya musyaf-musyaf ulama salaf yang urutan
suratnya bervariasi. Ada yang menyusunnya berdasarkan turunnya musyaf Ali yang
dimulai dengan ayat iqro’ sedangkan ayat lainnya disususn berdasarkan tempat
turunnya Makki kemudian Madani). Adapun Musyhaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surat
Al-baqarah, kemudian An-Nisa’, lalu surat Ali-Imran.[1]
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika
masalah teori korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulamayang
menekuni ‘Ulum Al-Qur’an. Ulama yang pertam kali menaruh perhatian masalah ini,
menurut as-suyuthi, adalah Syaikh Abi Bakar An-Naisaburi, kemudian diikuti
beberapa ulama ahli tafsir, seperti abu Ja’far Bin Jubair dalam kitabnya Tartib
As-Suwar Al-Qur’an, Syaikh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya Nazhm Ad-Durar
fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, dan As-Siyithi sendiri dalam bukunya Asrar
At-Tartib Al-Qur’an.[2]
B. Rumusan Masalah
- Apa Pengertian Munasabah?
- Apa Macam-macam Munasabah?
- Apa urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah?
C. Tujuan Masalah
- Untuk mengetahui pengertian Munasabah
- Untuk mengetahui macam-macam Munasabah
- Untuk mengetahui urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Munasabah
Secara
bahasa munasabah berarti persesuaian atau hubungan atau relevansi, yaitu
hubungan antara ayat/surah yang satu dengan ayat/surah yang sebelum atau
sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara
ayat/surah yang satu dengan ayat/ surah yang lain. Karena itu, sebagian orang
menamankan sebagi “Ilmu Tanusubil Ayati Was Suwari” yang memiliki arti juga sam
, yaitu ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat satu dengan yang lain.
Menurut istilah, Ilmu munasabah ialah ilmu
yang mempelajari alasan pengertian dari bagian – bagian Al-Qur’an yang mulia.[3] Sedangkan secara etimologi, munasabah berasal dari
bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah
(keserupaan) dan muraqabah (kedekatan). Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai
berikut: fulan yunasib fulan, berarti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B
dan menyerupainya. Dari kata itu lahir pula kata an-nasib yang berarti kerabat
yang mempunyai hubungan, seperti dua orang bersaudara dan putra paman. Istilah
munasabah digunakan dalam illat dalam bab qiyas yang berarti al-wasy
al-muqarrib li al-hukum (gambaran yang berhubungan dengan hukum).[4] Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabih
(pertalian).
Sedangkan secara
terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait
dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah
sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya,
mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat
yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan
(ta’arudh).[5]
Ilmu ini menjelaskan
segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surah Al qur’an. Oleh
karena itu, Ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting. Karena ilmu itu
bias mengungkapkan rahasia kebalaghahan Alqur’an dan menjangkau sinar
petunjuknya.(Abdul Djalal,cet IX.2013:158-159)
B. Macam-macam
Munasabah
Munasabah atau persesuaian atau penyambungan kata bagian
Al-Qur’an yang satu dengan yang lain dapat dilihat dari berbagai macam sudut
pandang diantaranya ditinjau dari segi sifat dan macam-macam materinya.
1.
Macam- macam sifat Munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah maka munasabah itu ada dua
macam, yaitu:
1. Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath)
Ialah
persesuaian yang tampak jelas, dapat juga disebut persambungan atau persesuaian
antara bagian Al=qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas,tidak bisa karena keterkaitan kalimat satu dengan yang
lain sangat erat. sehingga yang satu dengan yang lain.
Contoh,
seperti persambungan antara ayat 1 surah Al- Isra’:
سبحن الذى
اسرى بعبده لىلا من المسجد الحرام الى المسجد الاقصى
Artinya
: “Maha Suci Allah,
yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha”
Ayat tersebut
menerangkanisra’ Nai Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra’
tersebut yang berbunyi :
واتينا موسى الكتب وجعلنه هدى لبنى
اسرا ءيل
Artinya:
“Dan Kami berikan
kepada Musa kitab(taurat) dan kami jadikan kitab taurat itu petunjuk bagi Bani
Isra’el.”
Ayat
tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya
kedua orang Nabi/Rasul tersebut.
2. Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh)
Ialah
samarnya persesuaian antara bagian Al-Qur’an dengan yang lain. Sehingga tidak
tampak adanya pertalian untuk keduanya bahkan seolah-olah masing-masing ayat /
surah itu berdiri sendiri. Baik ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain.Contohnya, seperti hubungan antara
ayat 189 surah Al- Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah.
يسىلونك عن الاهلة قل هى موقيت للناس
والحج
Artinya:
Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji.
Ayat diatas menerangkan bahwa bulan sabit
ialah tanda-tanda bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji.
وقتلوا
فى سبيل الله الذين يقتلو نكم ولاتعتدوا
Artinya : Dan perangilah dijalan Allah orang-orang
yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas.
Ayat diatas menerangkan perintah menyerang
kepada orang-orang yang menyerang umat islam.Sepintas, antara kedua ayat
tersebut tidak ada hubungannya antara satu dengan ayat yang lain.
2.
Macam-macam materi Munasabah
Dalam kitabnya yang
berjudul Asra tatib Al-qur’an As-Suyuthi
menyimpulkan bahwa munasabah antar satu surat dengsn surat sebelumnya berfungsi
menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya. Apabila ditinjau dari segi materinya, maka munasabah
itu ada dua macam sebagai berikut:
1. Munasabah antara ayat
Yaitu munasabah atau
persambungan antara ayat yang satu dengan ayat lain. Munasabah ini bias
berbentuk persambungan-persambungan, sebagai berikut :
Pertama, diathafkan ayat yang satu
kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surah Ali-Imran :
واعتسموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا وذاذكروا نعمت الله عليكم اذ كنتم
اعداء فالف بين قلوبكم فاصبحتم بنعمتهه اخونا وكنتم على شفا خفرة من النار فانقذكم
منها كذلك يبين الله لكم ءايته لعلكم
تهتدون
Artinya: “dan berpeganglah kalian semuanya kepada
tali(agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-cerai”.
Dengan ayat 102 surah
Ali-Imran
يا يها الذينءامنوا تقوا الله حق تقاته ولا تموتن الاوانتم مسلون
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali
kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Faedah dari munasabah
dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang
sama.
Kedua, Tidak diathafkan ayat yang
satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surah Ali imran:
كداب ءال فرعون والذين من قبلهم
كذبوا بىايتنا فاخذهم الله بذنوبهم والله
شديد العقاب
Artinya: (Keadaan
mereka)adalah sebagai keadaan kaum Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya,
mereka mendustakan ayat-ayat Kami.
Dengan ayat 10 surah Ali-Imran:
ان الذين كفر لن
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang yangb kafir, harta benda dan anak-anak mereka sedikit pun tidak
dapat menolak (Siksa)Allah dari mereka. Dan Mereka itulah bahan bakar api
neraka.
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat 11 dengan
ayat 10 surah Ali-Imron, sehingga surah Ali-Imron ayat 11 dianggap sebagai ayat yang berkelanjutan dari surah
Ali-Imron ayat 10.
2. Munasabah antar surah,
yaitu munasabah atau
persambungan antara surah yang satu dengan yang lain. Bahkan setiap surat mempunyai tema pembicaran yang menonjol,
dan itu tercermin pada namanya masing-masing. Munasabah ini memiliki beberapa
bentuk, sebagai berikut:
Pertama, Munasabah antara surah Al-baqarah dengan surah Al-Fatihah. Kedua surat
tersebut memiliki kesamaan dalam hal materi.
Surah Al Baqarah dan Al Fatihah sama-sama menerangkan isi kandungan Al
Qur’an yakni Aqidah, Ibadah, Muamalah, Kisah, Janji serta Ancaman. Namun surah
Al Fatihah menjelaskan secara ringkas dan Surah Al Baqarah menerangkan secara
terperinci.
Kedua, Persesuaian
antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya. Sebab Pembukaan surah
ini sangat erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surah sebelumnya, meskipun
sudah terpisah dengan basmalah.
Contohnya, seperti awalan dari surah Al An’am yang
berbunyi:
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi.
Dengan akhiran surah Al Maidah yang berbunyi :
Artinya: Kepunyaan Allah kerajaan langit dan
bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ketiga, Persesuaian antara pembukaan dan akhiran suatu surah. Sebab , semua
ayat dari suatu surah dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan
persesuaian. Contohnya, seperti persesuaian antara awal surat Al Baqarah :
Artinya: Alif, Laam, Miim. Kitab (Al Qur’an) ini
tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Awal surah Al
Baqarah tersebut sesuai dengan akhirannya, yang memerintahkan supaya berdo’a
agar tidak disiksa Allah bila lupa atau bersalah:
Artinya : Beri maaflah kami, dan rahmatilah kami.
Engkau penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum-kaum yang kafir.
C. Urgensi Dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
Faedah mempelajari Ilmu Munasabah ini banyak antara
lain, sebagai berikut:
1. Mengetahui persambungan/ hubungan antara bagian Al
Qur’an, baik antara kalimat-kalimat maupun surah-surah yang satu dengan yang
lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab
Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan.
2. Dengan Ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan
tingkat kebalaghaan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimat yang satu
dengan yang lain, serta persesuaian ayat/ surahnya yang satu dari yang lain,
sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya bahwa Al-Qur’an itu betul-betulwahyu
dari Allah SWT.
3. Dengan Ilmu Munasabah akan sangat membantu dalam
menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, setelah diketahui hubungan sesuatu
kalimat/suatau ayat dengan kalimat / ayat lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan
hokum-hukum atau isi kandungan.
Selain itu
berdasarkan asbab an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Al-Qur’an.
Dalam hal ini Muhammad ‘Abdullah Darraz berpendapat,“Sekalipun permasalahan
yang diungkapkan oleh surat-surat itu bnyak semuanya merupakan satu kesatuan
pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang
hendak memahami sistematika surat, semestinya ia memperhatikan keseluruhannya
sebagaimana juga memperhatikan segala permasalahannya.”[6]Para ulama merasa puas terhadap suatu prinsip bahwa
Al-Qur’an ini, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung
bermacam-macam oleh hukum oleh sebab yang berbeda-beda, memiliki ayat-ayat yang
mempunyai hubungan erat. Dengan demikian tidak perlu lagi mencari asbab
an-nuzul-nya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah dapat
mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika
tidak ada asbab an-nuzul, hal lebih utama adalah mengemukakan munasabah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai
dalam arti yang sejajar dan parallel saja, melainkan yang kontradiksi pun
termasuk munasabah, seperti habis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan
sebagainya. Sebab, ayat – ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat umum. Dan kadang-kadang
sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak. Sering pula
sebagai keterangan seab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal
saleh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti
tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lain., baik
dengan sebelum maupun sesudahnya. Karena itu tampaknya ayat-ayat itu
seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dengan yang lain, seperti tidak ada
kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti akan tampak adanya
munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena
itu, ilmu munasabah merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa
mengungkapkan rahasia kebhalaghaan Al Qur’an dan menjangkau sinar petunjuknya.
DAFTAR PUSTAKA
A.F, Hasanuddin, Anatomi
Al-Qur’an: Perbedaan Qira’at
dan pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum dalam Al-Qur’an,Jakarta: Raja Grafindo Persada
‘Alusy, Muhammad Abd Al-Qadir. 1403
H/1983 M. Al-, Masalah Takhsish Al-‘Am bi As-Sahab, Jami’ah, Umm.Mekah: Al-Qurra
Amal, Taufiq Adnan dan Syamsul Rizal
Panggabean. 1989. Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, Bandung: Mizan
Anwar, Rosihon, Melacak
Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibn Katsir. Yogyakarta:
Pustaka Setia
Bakar,
Abu. 1989.Sejarah Al-Qur’an.
Solo: Ramadhani
Djalal,
Abdul.2013. Ulumul Qur’an Edisi Lengkap.Surabaya: Dunia Ilmu
[1]
Jalaluddin As-Suyuti, Asra Tatib Al- Qur’an. Dar Al-I’tisam. Kairo, Hlm.68-69
[2]
Jalaludin As-Suyuti, Al – Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al- Fikr, Breirut, t.t
Jilid I Hlm. 108
[3]
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an Edisi Lengkap.157-158
[4]
Badr Ad-din Muhammad bin A’bdillah Az-Zakarsy, Al Burahn fi ‘Ulum Al Qur’an,
Jilid I hlm 35
[5]
Badr Ad-din Muhammad bin A’bdillah Az-Zakarsy, Al Burahn fi ‘Ulum Al Qur’an,
Jilid I
[6]
Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Adzim, Dar
Al-‘Urubah, Mesir 1974, hlm. 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar